Laeko Lapandewa, S.HI., M.H. |
METROPLUS.ID – KARAWANG | Praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) di kawasan tambang emas Gunung Botak, Desa Persiapan Wamsait, Kecamatan Waelata, Kabupaten Buru, kembali menjadi sorotan.
Laeko Lapandewa, S.HI., M.H., seorang praktisi hukum sekaligus bagian dari Divisi Hukum LSM Ekologi Pembangunan, menilai lemahnya pengawasan pemerintah telah memperparah dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang ilegal tersebut.
Dalam keterangannya kepada media pada Sabtu (4/1/2025), Laeko menyatakan bahwa aktivitas PETI yang telah berlangsung sejak 2012 tidak hanya mengancam lingkungan, tetapi juga menimbulkan konflik sosial dan ekonomi di masyarakat.
“Jika kegiatan ini terus dibiarkan, masyarakat dan lingkunganlah yang akan menjadi korban. Kerusakan lingkungan yang terjadi bisa berdampak jangka panjang, bahkan merugikan generasi mendatang,” ujarnya.
Gunung Botak dikenal sebagai wilayah yang memiliki potensi emas melimpah. Namun, sayangnya, pengelolaan tambang oleh oknum tanpa izin ini lebih banyak membawa kerugian daripada manfaat bagi masyarakat sekitar.
Kerusakan lingkungan, pencemaran air, dan konflik sosial adalah beberapa dampak nyata yang dirasakan hingga kini.
Laeko juga menuding adanya pembiaran oleh pihak-pihak tertentu, yang membuat aktivitas PETI semakin masif dan sulit dihentikan. Menurutnya, penegakan hukum yang lemah menjadi salah satu faktor utama.
“Setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin sebenarnya dapat dijerat Pasal 158 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2021, dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100 miliar. Namun, penerapan hukum ini di lapangan tampaknya belum berjalan efektif,” jelas Laeko.
Selain berdampak sosial dan hukum, PETI juga mengakibatkan kerugian ekonomi bagi negara. Kegiatan ini menurunkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan penerimaan pajak, memicu kelangkaan BBM, serta memperburuk kesenjangan ekonomi di masyarakat.
Dampak lingkungan pun tidak kalah parah. PETI menyebabkan kerusakan hutan, pencemaran air, gangguan produktivitas lahan, hingga bencana lingkungan.
Di sisi keselamatan kerja, pelaku PETI sering mengabaikan standar keselamatan seperti penggunaan alat pelindung diri (APD) dan ventilasi udara di tambang bawah tanah.
Laeko mendesak pemerintah untuk mengambil langkah tegas dalam menangani PETI.
“Dibutuhkan pengawasan yang konsisten, penegakan hukum yang tegas, dan kolaborasi lintas sektor untuk mengatasi masalah ini. Jika tidak, lingkungan yang kita tinggalkan untuk anak cucu akan menjadi warisan bencana,” tegasnya.
Gunung Botak yang dulu menjadi simbol harapan ekonomi bagi masyarakat kini berubah menjadi pusat persoalan lingkungan dan sosial. Pemerintah diharapkan segera bertindak untuk menghentikan aktivitas tambang ilegal ini sebelum dampaknya semakin meluas. (*)